BAB IV: TANGGAPAN ATAS SANGGAHAN-SANGGAHAN - TANGGAPAN TERHADAP SURAT RABITAH ALAWIYAH
BAB IV: TANGGAPAN ATAS SANGGAHAN-SANGGAHAN
TANGGAPAN TERHADAP SURAT RABITAH ALAWIYAH
Beredar di media sosial foto selembar
surat edaran yang berlogo Rabitah Alawiyah, yaitu perkumpulan para habaib di
Indonesia.
Edaran itu bernomor: 180/MD-RA/XI/2022 dengan judul
―Jawaban terhadap masalah tidak adanya nama Ubaidilah Bin Ahmad AlMuhajir di Kitab
Al-Syajarah Al-Mubarokah‖. Edaran itu di posting di channel Bahar Smith dan di
bacakan oleh Mahdi bin Yahya di channel youtubenya.
Jika dilihat dari titimangsa
surat ini, yaitu 8 November 2022, maka jelas surat edaran ini dalam rangka
menjawab tulisan penulis yang di ulas DR. Syafik Hasyim di Cokro TV pada 6
November 2022. Berarti hanya berselang dua hari, rabitah telah menjawab tulisan
penulis tentang bahwa Ubaidillah tidak dicatat sebagai anak Ahmad bin Isa
berdasar kitab-kitab nasab abad ke 5 dan ke 6.
Adapun kutipan lengkap surat edaran itu adalah
sebagai berikut:
Jawaban terhadap masalah tidak adanya nama
Ubaidillah
Bin Ahmad Al-Muhajir di Kitab Al Syajarah
Al-Mubarokah
________________________________________________
180/MD-RA/XI/2022
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan ini kami dari Maktab Daimi- Rabitah Alawiyah
memberitahukan bahwa Kitab Al-Syajarah Al-Mubarokah yang dikarang oleh Imam
Al-Fakhrurozi yang wafat pada tahun 606 Hijriah (Abad ke VI) adalah bukan
satu-satunya kitab nasab yang menjadi sandaran pada ahli nasab. Masih ada kitab
kitab lain yang ditulis pada abad yang lebih awal seperti:
1. Kitab
Bahrul Ansab
Yang dikarang oleh Al-Sayyid Muhammad bin Ahmad Amiduddin
Al-Husaini Al-Najafi yang wafat pada tahun 433
Hijriah (Abad ke IV) pada halaman 46 dan 52 beliau telah
menuliskan keturunan dari pada Isa Arrumi bin Muhammad Al-Azraq (Annaqib) Yaitu
Ahmad dan anak keturunannya, disebutkan bahwa nama anaknya salah satunya adalah
Ubaidillah.
2. Kitab
Abnaul ImamFi Misro Wa Syam (Alhasan
Wal Husain)
Yang dikarang oleh Abil Muammar Yahya bin
Muhammadbin Al-Qasim Al-Husaini Al-Alawi yang dikenal dengan Ibnu Thoba Thoba
yang wafat pada tahun 478 Hijriah (abad ke IV) pada halaman 167-169 beliau
menuliskan tentang keturunan Ja‘far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
dan menuliskan Ubaidillah bin Ahmad bin Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali bin Jafar shodiq.
Semoga tulisan ini dapat menjawab masalah keturunan
dari Ubaidillah (Abdullah) bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Arrumi bin Muhammad Al
Naqib bin Ali Al-Uraidi.
Atas perhatiannya dan pemahamannya kami ucapkan
terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 8 November 2022
Hormat kami Maktabah Daimi Rabitah Alawiyah
Ahmad Muhammad Al-athas, Ketua harian; M. Baqir Alhaddad,
Sekretaris.
Dua kitab ini yang disebut oleh Rabitah Alawiyah tersebut
tidak dapat dijadikan hujjah bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad, kenapa?
Kitab Tahdzibul
Ansab yang disebut oleh surat edaran itu sebagai kitab yang yang dikarang
abad ke lima adalah dusta. Kitab itu dikarang oleh Al-Sayyid Muhammad bin Ahmad
Amiduddin AlHusaini Al-Najafi yang wafat pada pada abad 10 Hijriah. Keterangan
itu dapat dilihat dalam kitab Tabaqatunnassabin
karya Bakar Abu Zaid, dalam kitab itu disebutkan:
-396 محمد بن
اتٛد بن عميد الدين علي اتٟسيتٍ النجفي )القرن العاشر( لو تْر الانساب او ات١شٖجر
الكشاٜفٜٕ لأصول السادات الأشراف طبع بالقاىرة عام ٖٔ٘ٙ ىجرية
―Nomor ke 396 (dari para ahli nasab adalah Muhammad bin
Ahmad bin Amididdin Ali Al Husaini Al Najafi (Abad ke 10) ia memiliki kitab
Bahrul Ansab atau Al-Musyajjar Al-Kasyaf LiUshuli Al-Sadati Al-Asyraf, dicetak
di Kairo tahun 1356 H.‖ (Tabaqatunnassabin: Bakar Abu Zaed: h. 162)
Lalu dalam cover kitab Tahdzibul Ansab
cetakan penerbit Daar Al-Mujtaba,
Saudi Arabia tahun 1419 H yang di tahqiq oleh Al-Syarif Anas Al-Kutubi Al
Hasani, ditulis:
تْر الأنساب ات١سمى ات١شجر الكشاف لأصول السادات
الأشراف للعلامة النسابة السيد محمد بن اتٛد بن عميد الدين علي اتٟسيتٍ النجفي من
أعلام القرن التاسع و العاشر ات٢جري
“Bahrul Ansab yang dinamai (pula) Al-Musyajjar Al-Kasyaf Li Ushuli
Al-Sadat Al-Asyraf (dikarang) oleh Annasabah (ahli nasab) Al-Sayid Muhammad bin
Ahmad bin Amididdin Ali Al Husaini Al Najafi sebagian dari para tokoh abad 9
dan 10 H.”
Untuk kitab kedua yaitu kitab Abnaul Imam fi Mishro Wa-Syam (Al-hasan Wal
Husain) telah dijelaskan dalam tulisan penulis
―Muhhammad Ludfi Rahman Mempertahankan Nasab Habib
Dengan Kitab Palsu‖. Intinya kitab itu termasuk kitab palsu yang isinya telah
di rubah atau ditambah. Penambahan itu telah diketahui oleh para ulama, dan
kitab ini tidak layak menjadi hujjah ilmiyah.
Sampai saat ini nasab habib di Indonesia
belum mendapatkan pijakan dalil kesahihan nasab mereka. Bahkan beberapa kasus
pemalsuan tahun wafat pengarang kitab oleh oknum tertentu, semakin menjadikan
pembela nasab ini mencurigakan secara moral.
299طبقات النسابٌٌن: بكر ابو زٌٌد: ص .362
TANGGAPAN
ATAS BANTAHAN HABIB RIZIQ SYIHAB
Seperti terdapat dalam channel youtube
IBTV dengan judul postingan ―MENJAWAB TUDUHAN HABAIB BUKAN KETURUNAN RASULULLAH
S.A.W. –OLEH IB HRS‖ yang dipost-kan 11 Nopember 2022 dengan durasi panjang 1
jam 44 menit 10 detik dalam video itu HRS menyebutkan adanya pertanyaan yang
menggelitik khususnya dikalangan anak muda tentang apakah benar habaib di
Indonesia itu keturunan Rasulullah, HRS melanjutkan
“kalau betul mana buktinya? Kalau betul bagaimana
cara mempertanggungjawabkannya?
Menurut HRS, di menit ke 4, pembuktian
apakah betul para habib itu sebagai keturunan Nabi cukup dengan membuktikan
Imam Ahmad (bin Isa) apakah betul sebagai keturunan Nabi, jika betul Imam Ahmad
sebagai keturunan Nabi maka berarti betul para habib itu keturunan Nabi jika
tidak maka tidak. HRS pula menyatakan bahwa harus dibuktikan para tokoh-tokoh
itu apakah betul ada atau hanya tokoh fiktif, siapa ulama yang menyebutkan?
Dalam kitab apa? Apakah ulamanya otoritatif atau tidak?
Pernyataan HRS ini sebagian betul, yaitu
bahwa seorang tokoh yang diyakini ada pada suatu masa harus dibuktikan oleh
terdapatnya nama tokoh itu disebut dalam sebuah kitab pada zamannya. Namun
ketika menyebut bahwa jika Ahmad bin Isa terbukti sebagai tokoh nyata dan
sebagai keturunan Nabi yang dibuktikan dengan adanya ulama yang menyebutkan
dalam suatu kitab yang semasa, maka berarti para habib pula terbukti sebagai
keturunan Nabi.
Pernyataan HRS itu bermasalah
karena justru masalah bukan pada Ahmad bin Isa tetapi pada sosok yang bernama
Alawi yang disebut sebagai anakdari Ubaidillah dan cucu dari Ahmad bin Isa.
Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Naqib telah terbukti secara sah dan meyakinkan
sebagai keturunan Nabi berdasarkan kitab-kitab nasab pada zamannya. Tetapi
Alawi bin Ubaidillah tidak terbukti sebagai cucu Ahmad bin Isa dikarenakan
Ubaidillah tidak terbukti sebagai anak Ahmad bin Isa.
Pada menit ke 31 HRS menyebut
nama kitab-kitab seperti Albidayah wa al-Nihayah, al-Kamil fi al-Tarikh, Tarikh
Ibnu Khaldun, Tarikh al-Dzahabi dan banyak lagi kitab untuk membuktikan anak
keturunan Sayidina Hasan dan Husain. HRS pula menyebut nama kitab-kitab untuk
membuktikan bahwa tokoh-tokoh leluhur habaib di Indonesia dicatat dalam
kitab-kitab sampai ia menerangkan tentang Ahmad bin Isa (al-Muhajir).
Tapi perhatikan pada menit yang ke
1:13:44 ketika HRS telah selesai menerangkan Ahmad bin Isa yang menurutnya
dicatat dalam kitab tarikh Tobari,
ketika menerangkan tentang apakah Ubaidillah ditulis oleh ulama dalam kitab
sebagai anak Ahmad bin Isa, HRS malah lompat menerangkan tentang Alawi yang
menurutnya terdapat dikitab Khulasotul
Atsar. Seharusnya HRS juga dapat menunjukan kitab mana yang menyebutkan
tentang bahwa Ahmad mempunyai anak bernama Ubaidillah.
Karena justru, sekali lagi
dikatakan, bahwa Alawi inilah yang merupakan datuk para habib Ba Alawi yang
disebut oleh para ulama sebagai bukan keturunan Rasulullah, dikarenakan ayahnya
yang bernama Ubaidillah tidak terbukti sebagai anak Ahmad bin Isa (alMuhajir).
TANGGAPAN
TERHADAP BUKU HANIF ALATAS
Habib Hanif Alatas membuat sebuah buku dengan judul
―Risalah Ilmiyah jawaban atas Syubhat Imaduddin Utsman
Seputar Keabsahan Nasab Bani Alawi‖.
Risalah Hanif ini tidak dapat membantah
terputusnya nasab Ba Alawi. Karena di dalamnya hanya mengetengahkan tentang
pembicaraan para ulama terhadap nasab Ba Alawi mulai dari abad 9. Belum
berhasil menyambungkan sanad dan riwayat antara nasab Ba Alawi dan Nabi
Muhammad s.a.w.
Bagi hanif,
pembicaraan-pembicaraan ulama besar itu, walau bukan merupakan sumber primer
akan bisa memperkuat nasab Ba Alawi biarpun dari sisi ketersambungan sanad
terputus.
Semisal Hanif menukil pujian Syekh
An-Nabhani (W. 1350 H) tentang bahwa nasab Ba Alawi adalah nasab tersahih.
Namun, sekali lagi yang diperlukan bagi nasab Ba Alawi ini adalah
ketersambungan riwayat dari mulai Ahmad bin Isa (w. 345 H) sampai munculnya
nama Ubaidillah yang mempunyai anak Alwi pada abad 10 H. yaitu ketika kitab
Tuhfatutholib Bima‘rifati man Yantasibu Ila Abdillah wa Abi
Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi
(w. 996) memuat untuk pertama kali.
Ketika ketersambungan dari 345-996
hijriah ini tidak ada maka semua pujian ulama setelah tahun 996 H tidak
berfaidah dalam itsbat nasab Ba Alawi. Diperlukan kitab-kitab muashir (sezaman)
dalam setiap nama yang menyatakan ia anak dari fulan atau ayah dari fulan.
Kenapa? Karena syuhroh wal istifadloh (masyhur dan menyeluruh) bagi nasab itu,
menurut Imam Arruyani, harus setiap masa bukan hanya disuatu masa. Misal abad
10 masyhur Ba Alawi sebagai keturunan nabi, tapi abad 9,8,7,6,5 dan 4 tidak ada
yang menyebut, maka dapat dipastikan secara ilmiyah nasab ini palsu. Imam
Ar-Ruyani (w.502) berkata dalam Bahrul Madzhab:
:ان إٖلاستفاضة بالنسبُ عرف بطول الزمان )تْر
ات١ذىب
ٗ/ٖٔٗ(
“Sesungguhnya
istifadlah untuk nasab diketahui dengan
sepanjang zaman” (Bahrul Madzhab: 3/134)
Di Makkah ada suatu kasus.
Keluarga Athobariyah Al-Ariqah dikenal sebagai keluarga yang melahirkan para
ulama di Makkah, ia masyhur sebagai keluarga Nabi, namun kemasyhuran itu,
setelah diteliti mulai dari abad 9 saja, sedang di abad ke enam, tujuh dan delapan
nasab mereka tidak masyhur di kitab-kitab abad itu. Kitab Al Da‘u AlLami‘,
khulasatul Atsar, yaitu kitab abad 9 dan 11 menulis mereka sebagai Al Husaini,
tetapi di abad sebelumnya tidk ada riwayat. Maka ulama nasab menyebut nasab
seperti ini al iddi‘a al hadits la ashla lah (pengakuan baru tidak punya asal).
Alawi sebagai datuk Klan Ba Alawi
(w. 400 H.), dalam versi masyhur mereka, ia putra Ubaidillah (w.383 H) ―bin‖
Isa (W. 345 H.). maka dari 3 nama ini, kita memerlukan kesaksian kitab nasab
yang semasa yang menyebut Alawi sebagai anak Ubaidillah dan Ubaidillah sebagai
anak Ahmad, yaitu kitab abad ke 5 yang semasa dengan Alawi. Bahwa benar
disebutkan dalam kitab itu Alawi sebagai cucu Ahmad bin Isa.
Untuk itu, Hanif berusaha untuk mencari
kitab abad ke lima. Apakah berhasil? Kita lihat!
Hanif menyebutkan bahwa nasab
Alawi sebagai anak Ahmad telah disebutkan di abad 5. Alhamdulillah. Apa betul?
Menurutnya, nasab itu telah disebut oleh Al-Ubaidili yang wafat 435 H. yang
demikian itu disebut dalam kitab Al-Raud Al-Jali, karya Az-Zabidi (W.1205).
kalau ini terbukti kita akan taslim akui mereka sebagai keturunan Nabi.
Subhanallah.
Lalu bagaimana?
Sedih kita, sudah dua kasus kitab palsu
telah berlalu, sekarang mau tambah lagi.
Penulis memiliki kitab Al-raud Al-jali
namun kalimat seperti yang disebutkan Hanif tidak terdapat dikitab itu. Kitab
Al-Raud yang penulis miliki cetakan maktabah Daar Kanan Li Al Nasyr wa Al-
Tawzji‘ tahun 1431 H. ditahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Gani,
tidak ada kalimat seperti dikutif Hanif itu, bahwa ―Al-Ubaidili berkata…‖.
Setelah ditelusuri di footnote
rupanya yang dipakai Hanif adalah kitab Al-Raud Al-Jali cetakan tahun sekarang
ini, tahun 1444 H, baru sekali. Kitab itu di tahqiq oleh Muhammad Abu Bakar Ba
Dzib, dan di ta‘liq oleh Habib Alwi bin Tohir Al haddad (w. 1382 H.).
Dalam kutipan yang dipetik Hanif itu banyak berbeda dari
kitab
Al Raudul al jali yang penulis miliki. Penulis Tidak ada
kalimat
―Ubaidili berkata…‖ dst. Di kitab Hanif ada kalimat
―ubaidili berkata…‖ padahal judul kitabnya sama, pengarangnya sama, kok isinya
beda.
Ketika melihat judulnya bahwa kitab ini
di ta‘liq oleh Habib Alwi bin tohir Al-haddad, maka kemungkinan besar kasusnya
sama dengan kitab ―Abna‘ul Imam‖ yaitu kemungkinan adanya penambahan dari
penta‘liq atau pentahqiq. Kitab yang dijadikan referensi Hanif ini sah disebut
kitab palsu dan tertolak untuk dijadikan hujjah sebagai sumber hukum, karena di
dalamnya sudah ada campuran antara kitab asli dan ta‘liqnya, dibuktikan dengan
berbedanya ibarah yang ada dengan cetakan sebelumnya.
Dan ketika meriwayatkan dari kitab yang
tercampur ini, Hanif tidak menyatakan ibaroh yang disampaikan itu, apakah
ibaroh dari pengarang atau pen‘ta‘liq, subyek yang berkata jadi tidak jelas
karena terjadi tadlis (pengaburan sengaja).
Bahkan konklusi dua cetakan kitab ini
tentang Abdullah anak Ahmad menjadi berbeda. Kitab cetakan yang ada di tangan
penulis menyebut Abdullah sebagai anak Ahmad adalah termasuk ketetapan yang
tidak disepakati, sementara dalam kitab cetakan Hanif menjadi yang
disepakati.
Moral ilmiyah itu penting, selain isi
tulisan. Percetakan, pentahqiq, penta‘liq dan penukil harus memiliki kejujuran
ilmiyah. Kitab yang kita tukil harus kredibel, penulisnya jelas, tahunnya
jelas. Kalau kitab itu syarah katakan syarah! Bedakan antara ibaroh syarah
dengan ibaroh matan, bisa dengan ditambah dalamkurung, tulisan yang dibedakan
atau dengan ciri lainnya seperti warna tinta, karena, terutama kitab sejarah
dan nasab, harus jelas titimangsa kitab itu, untuk menjadi saksi tokoh yang
diteliti. Jika ada ketidakjujuran dari fihak-fihak yang penulis sebutkan tadi
maka nilai ilmiyah itu hilang.
Dari sini riwayat abad lima putus. Hanif
tak berhasil mensajikan kitab yang jujur. Musti bekerja keras lagi. Lalu
bagaimana hujah yang lainnya? Hujah lain banyak, tapi hujah hujah kebanyakan
sudah di sampaikan penyanggah penulis lainnya dan sudah dijawab. Agaknya tujuan
hanif dengan kitab ini bukanlah untuk diuji secara ilmiyah, tapi untuk dibaca
awam.
Penulis hanya akan tanggapi hujah
hanif yang akan membawa nasab Ba Alawi bisa muttasil secara ilmiyah, jika benar
logika ilmiyahnya. Maka kita uji. Seperti tadi, Hanif katakan bahwa Ubaidili
berkata, jika itu benar, sah ba Alawi jadi cucu Nabi, karena Ubaidili adalah
ulama abad ke 5, tapi ternyata kitab yang dikutip kitab palsu. Pembaca bisa cek
di internet dan membaca kitab Al-raud Al-jali, lalu bandingkan dengan tulisan
Hanif yang menyebut itu diambil dari AlRaud Al-jali, sama atau beda?Jelas,
tulisan Hanif ini, tercederai oleh kitab palsu, yaitu kitab Al-raud Al-Jali
karya Azzabidi cetakan 1444 H. yang berbeda isi dan kesimpulannya dengan
cetakan sebelumnya.
Mengenai kitab As-Suluk yang
disinggung Kang Zaini bahwa penulis terlewat tidak menjawab tentang kitab
As-suluk pada dialog Habib Hamid Alkadri. Padahal kitab itu bisa menjadi mata
rantai abad kelima karena di karang ulama abad 8 yaitu Al jundi (w.732).
Sedikit bocoran, setiap kata Ba Alawi dan Ibnu Abi Alwi abad 8-9 H, itu
maksudnya bukan Ba Alawi yang kita kenal sekarang, itu Ba Alawi berbeda.
Abdullah yang disebut abad delapan dan
Sembilan itu bukan yang menurunkan Faqih Al-muqoddam, beda orang dengan
Ubaidillah, tidak ada kesamaan keduanya. Dengan
bocoran ini, harus dicari dalail yang menyatakan keduanya sama. Bagi penulis,
Nasab Ubaidillah bin Ahmad ini baru resmi ditulis dalam kitab nasab pada abad
10, maka perlu ketersambungan riwayat Ubaidillah ini dari abad 10-5 hijriah.
Wallahu A‘lamu bi Haqiqatil hal. (Imaduddin Utsman Al-Bantani)
RANGGINANG
DARI BANTEN UNTUK HANIF ALATAS
Hanif Alatas, membuat buku sanggahan
yang kedua terhadap penulis. Buku itu diberi judul “Bingkisan Lebaran Untuk Imaduddin Utsman: Catatan atas jawaban
Imaduddin utsman terhadap Risalah
Ilmiyah M. hanif Alatas”.
Pertama: Hanif mengatakan:
“Dalam tulisannya Imaduddin mengatakan „risalah Hanif ini, belum dapat
membantah terputusnya nasab Ba Alwi, karena didalamnya hanya mengetengahkan
tentang pembicaraan para ulama terhadap nasab Ba Alawi mulai dari abad
sembilan‟ kemudian ia juga mengatakan „ketika ketersambungan dari 345-996
hijriah ini tidk ada maka semua pujian ulama setelah tahun 996 H tidak
berfaidah dalam istbat nasab Ba alawi‟ dst. Pernyataan Imaduddin di atas
menunjukan bahwa ia tidak betul-betul membaca risalah ilmiyah saya. Padahal
siapapun yang membaca risalah tersebut maka akan melihat secara jelas dan
gambling bahwa saya mengutip kesaksian-kesaksian ulama dari kitab mereka
sebelum tahun 996 H…”
Pernyataan Hanif ini ada
benarnya, saya tidak terlalu serius membaca kalimat yang tidak ada kaitan
dengan ketersambungan nasab habib Ba Alawi. Kenapa? Karena memang yang ingin
kita gali adalah ittisolurriwayat nasab
Habib Ba Alawi yang terputus. yang diperlukan bagi nasab Ba Alawi ini adalah
ketersambungan riwayat dari mulai Ahmad bin Isa (w. 345 H) sampai munculnya
nama Ubaidillah yang mempunyai anak Alwi pada abad 10 H., Yaitu ketika kitab
Tuhfatutholib
Bima‟rifati man Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad
bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996) memuat untuk pertama kali. Sedangkan
kitab-kitab yang banyak itu walaupun ditulis sebelum 996 H., tetapi tidak
menyebut nama Ubaidillah tetapi Abdullah. Menurut penulis keduanya adalah orang
yang berbeda.
Semisal, Hanif berhujjah dengan kitab
al-Suluk karya al-Jundi (w.732), disana yang disebut bukanlah Ubaidillah,
tetapi Abdullah, dan ini akan saya ulas tersendiri untuk membuktikan bahwa nama
Abdullah yang disebut itu memang bukan Ubaidillah leluhur para habib, jadi
tidak bisa dijadikan hujjah.
Kedua Hanif menggunakan hujjah kitab
al-Yafi‘I (w.768) disana ada syair tentang Ba Alwi di Hadramaut. Sekali lagi Ba
Alwi yang disebut itu bukan Ba Alwi para habib, itu Ba Alwi bani Jadid.
Tidak tegas menyebut nama Ubaid atau nama-nama keluarga
habib Ba Alwi. Tidak bisa menjadi hujjah.
Ketiga, Hanif menggunakan kitab Imam al-Rasuli (w. 778 H).
disana yang disebut adalah Abdullah, bukan Ubaidillah.
Abdullah itu bukan Ubaidillah. Kitab ini tidak bisa menjadi hujah.
Keempat, Hanif menggunakan kitab Imam
al-Khozroji (w. 812). Lagi, yang disebut Abdullah. Kitab ini tidak bisa menjadi
hujjah pula.
Kelima, Hanif menggunakan kitab
al-Imam al-Ahdal (w. 855 H) kitab ini adalah ikhtisar al-suluk, akan penulis bahas bersama al-Suluk dalam penelusuran
perbedaan antara Abdullah dan Ubaidillah. Tidak bisa menjadi hujjah pula karena
namanya masih Abdullah.
Keenam, Hanif menggunakan kitab
al-Imam Abdurrahman alkahtib (w. 855), kitab al-Jauhar al-Syafaf, konon menyebut nama Ubaidillah, tetapi
kitabnya belum dicetak, katanya masih manuskrip. Manuskrip ini ada di Huraidah,
Yaman, di perpustakaan Ahmad bin Hasan Al-Athos (habib Ba Alawi). Perlu
diketahui al-Jauhar al-syafaf pula,
adalah manuskrip yang terdapat di perpustakaan Malik Abdullah bin abdul aziz
Saudi, dengan nama pengarang Abdullah Ibnul Hadi. Kitab manuskrip belum bisa
dijadikan hujjah kecuali telah di publikasikan dan bisa diverivikasi
keasliannya oleh seorang muhaqqiq terpercaya.
Ketujuh, Hanif menggunakan kitab
Kadzim al-Musawi (w. 880), didalmnya yang disebut adalah Abdullah, tidak bisa
menjadi hujah karena idak menyebut nama Ubaidillah.
Kedelapan, Hanif menggunakan kitab Imam
al-Sakhowi (902 H), Ba makhramah (w. 947 H) , kitab Ibnu hajar (w. 947 H) ,
Yahya bin Syarafuddin al-hasani (w. 965 H), dan al-Samarqondi ( 996 H) yang
semuanya menyebut nama Ubaidillah. Namun kitab-kitab ini bermuara kepada satu
referensi, yaitu kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Ali al-Sakran (w. 895
H.) dan tidak bisa menyambung kepada kitab yang lebih tua yang menyebut nama
Abdullah seperti kitab al-Suluk.
Kenapa?
Leluhur Habib Ali Al-Sakran, yang
dikenal pada zamannya bernama Ubaid, tanpa idlofah kepada ―Allah‖. Hal ini
diakui oleh Habib Ali al-Sakran dalam kitabnya tersebut dengan ibaroh:
وىكذا ىو ىنا عبيد ات١عروف عند اىل حضرموت
وات١سطر في كتبهم وات١تداول في سلسلة
نسبهم ونسبتهم انو عبيد بن اتٛد بن عيسى )البرقة ات١شيقة: ٔ٘ٓ(
“Dan demikianlah, ia disini (bernama) Ubaid yang dikenal penduduk
Hadramaut, dan ditulis dalam kitab-kitab mereka dan berkesinambungan dalam
sislsilah nasab mereka. Dan penisbatan mereka adalah: Ubaid bin Ahmad bin Isa.”
(alBurqoh al-Mtsiqoh: 150)
Perhatikan, bahwa yang tertulis
berkesinambungan bagi penduduk Hadramaut, hanya sampai Isa, belum dilanjutkan
kepada Muhammad al-Naqib sebagai ayah Isa.
Untuk menyimpulkan bahwa leluhurnya yang
bernama Ubaid, tanpa pakai mudlaf ilaih ―Allah‖, itu adalah Abdullah, Habib Ali
alSakran menyebutkan:
وقد فهمت ت٦ا تقدم اولا منقولا من تًريخ اتٞندي
وتلخيص العواجي وسبق بو الكلام في ترتٚة الامام ابي اتٟسن عَليّ بن تُ٤مَّد ابن
أتْٛد جدِيد انو عبد الله بن اتٛد بن عيسى حيث قال: مِنْ هُم ابو اتْٟسن عَليّ بن
تُ٤َمَّد ابن أتْٛد بن حَدِيد بن عَليّ بن تُ٤مَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أتْٛد
بن عِيسَى بن تُ٤َمَّد بن عَليّ ابْن جَعْفَر الصَّادِق بن تُ٤مَّد الباقر بن
عَليّ بن زين العابدين بن اتْٟسَتُْ بن عَليّ ابن ابي طالب كرم الله وجهو وَيعرف
بالشريف ابي اتْٟدِيد عِنْد أىل
اليمن اصلو من حَضرمَوْت من اشراف ىُنالك يعْرفونَ بَال ابي علوي بيت صَلَاح
وَعبادَة على طريق
التصوف انتهى )البرقة ات١شيقة: ٔ٘ٓ-ٔ٘ٔ)
“Dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali,
berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Jundi (kitab al-Suluk) dan kitab
Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam
menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, Ali bin Muhammad bin Ahmad
Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa. (yaitu) ketika ia
(al-Jundi) berkata: sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad
bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin
Muhammad bin Ali bin Ja‟far al-Shadiq bin Muhammad alBaqir bin Ali bin
Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan
dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari
Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang
merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf”. (al-Burqah
al-Musiqah: 150-151)
Perhatikan kalimat “waqad fahimtu mimma taqoddama”(dan aku
memahami dari yang telah lewat itu), dilanjut kalimat “annahu Abdullah bin Ahmad bin Isa” (bahwa Ubaid bin Ahmad bin Isa
itu adalah (orang yang sama dengan) Abdullah bin Ahmad bin Isa berdasar kutipan
kitab sejarah karya al-Jundi ….
Dari situ diketahui, bahwa yang
dicatat sebelum itu hanya Ubaid bin Ahmad bin Isa, lalu ketika Habib Ali
al-Sakran membaca kitab alJundi maka ia memahami (menyimpulkan) bahwa Ubaid ini
adalah Abdullah.
Lalu, kenapa Abdullah menjadi
Ubaid lalu Ubaidillah? Habib Ali al-Sakran berargumen bahwa Abdullah bin Ahmad
seorang yang tawadlu, ia merasa tidak pantas bernama Abdullah (hamba Allah),
maka ia menyebut dirinya (Ubaid) hamba kecil, tanpa lafadz ―Allah‖. Perhatikan
ibarah di bawah ini! والذي يظهر عندي ان الشيخ الامام عبد الله بن
أتْٛد بن عِيسَى ... بن تُ٤مَّد بن عَليّ ابن جَعْفَر كان من عظيم
تواضعو
ويستحسن تصغتَ اتٝو وت٤و رتٝو تٖقتَا ت٢ا
وتصغتَا ت١ا ينسب اليٖها وافناء للدعوى ومقتضيات ات٢وى تْسب التسمية لو بعبيد
ٖٓٓ
“Dan sesuatu yang dzahir bagiku, bahwa sesungguhnya Syekh Imam Abdullah
bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja‟far, karena tawadu‟nya… ia
menganggap baikdi tasgirnya
(dikecilkan secara lafadz) namanya dan dihapusnya tanda (keagungannya),
karena menganggap hina dirinya dan mengaggap kecil susuatu yang dinisbahkan
kepadanya (nasab atau lainnya) dan melebur pengakuan dan kebiasaan nafsu,
dengan mencukupkan nama baginya Ubaid.” (al-Burqoh: 151)

Posting Komentar untuk "BAB IV: TANGGAPAN ATAS SANGGAHAN-SANGGAHAN - TANGGAPAN TERHADAP SURAT RABITAH ALAWIYAH"
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...